[ARTIKEL] Saya satu diantara ribuan orang yang ikut menyemut di Lapangan Pancasila, Salatiga malam itu. Salatiga adalah sebuah kota di Jawa ...
[ARTIKEL] Saya satu diantara ribuan orang yang ikut menyemut di Lapangan Pancasila, Salatiga malam itu. Salatiga adalah sebuah kota di Jawa Tengah yang terletak diantara Semarang dan Solo, dikenal salah satunya karena ada Universitas Kristen Satya Wacana yang begitu dinamis saat itu. Dinamis berkat dosen berkualitas seperti Arief Budiman dan Ariel Heryanto yang kala itu masih mengajar di kampus itu. Rumah saya di daerah Suruh, sekitar 10 kilometer dari Salatiga. Saat itu bulan Maret tahun 1990. Lagu "Bento" dari Iwan Fals bersama kelompok Swami sedang menjadi hits, termasuk di kota kecil, dingin dan teduh seperti Salatiga. Dan malam itu Swami lengkap dengan Iwan Fals datang memberikan konser yang lebih mendekati semangat perlawanan daripada sebuah hiburan musik semata. Tahun 1990 Soeharto masih berkuasa penuh. Iwan Fals dan Swami memberikan "perlawanan" lewat lagu. Rombongan Swami yang datang dan siap "tempur" adalah Iwan Fals, Sawung Jabo, Naniel, Nanoe, Inisisri, W.S. Rendra, Setiawan Djody dan banyak lagi.
Tanah berpijak tempat saya berdiri serasa bergetar. Sesekali tubuh saya terdorong ke samping kanan dan kiri. Bahkan beberapa kali kaki saya terinjak. Belum lagi orang-orang di depan saya yang kerap menutupi pandangan mata saya kearah panggung besar yang berdiri kokoh di depan saya. Tapi saya tidak peduli. Saya sedang mengikuti "dakwah" politik dan musik. Saya sempat mengumpat, pasalnya kaca mata minus 2 yang biasa saya pakai tertinggal di rumah. Membuat pandangan saya kurang jelas melihat sosok Iwan Fals dan yang lain. Kabur. Sialan benar.
Sementara saya sibuk memelototkan mata melihat ke panggung ribuan orang seperti berada dibawah pengaruh hipnotis. Bernyanyi, berteriak, menjerit, dan menangis tanpa peduli dengan sekelilingnya. Semua teriak lantang menyanyi. Semua hapal diluar kepala. Apalagi saat "Bongkar" di nyanyikan oleh Sawung Jabo dan Iwan Fals yang kompak. Mereka berdua bertelanjang dada, "O..o...ya o...ya o ya Bongkar!" kata Iwan dan Jabo yang direspon dengan gempita oleh umat yang datang malam itu. Nuansa kebebasan sungguh terasa. Bebas berteriak dan bernyanyi. Malam itu. Saat itu OI belum ada. Yang lebih terkenal adalah Fals Mania. Saya seorang diri terjepit diantara ribuan Fals Mania malam itu. Iwan Fals bagi saya adalah perwujudan dari sosok idola, dewa, bahkan raja. Dia juga seorang nabi bagi ummatnya. Dan saya menjadi salah satu ummatnya pada malam itu menyaskikan dirinya berkhutbah lewat lagu.
Itu pertama kali saya mengalami interaksi emosional secara langsung dengan Virgiawan Listanto, akrab disapa Tanto di keluarganya. Tapi lebih diakrabi lagi oleh jutaan orang di Indonesia dari ujung Aceh sampai Irian dengan nama Iwan Fals. Dan pada suatu siang di akhir Maret 2007 setelah 17 tahun "pertemuan" itu saya kembali bertatap muka dengan Iwan Fals. Kali ini di padepokan Iwan Fals di Leuwinanggung. Saya sedang tidak hendak menyaksikan Iwan Fals bersenandung. Saya hendak melakukan interview dengannya. Leuwinanggung adalah sebuah komplek seluas 6000 meter lebih yang di dominasi warna abu-abu. Warna kesukaan Iwan Fals mungkin.
Sosok dan kharismanya awalnya membuat saya sungkan padanya. Tapi dewa yang satu ini ternyata sangat ramah. Amat ramah malah. "Sekarang kita makan dulu ya," kata Iwan sambil tanpa sungkan memasukkan sepotong paha ayam dari McDonalds yang dibeli oleh Widi, staff dari Musica Studio's saat saya baru tiba. "Wah kita makan produk Amerika nih," cetusnya sambil terkekeh. Terasa ada sesuatu yang hendak disampikan Iwan Fals dalam misteri tawanya itu. Iwan Fals makan McDonals. Ini menarik.
Iwan Fals tampak sehat. Badannya mulai menggemuk. Rambut mulai memutih. Di bagian depan rambutnya mulai jarang. Efek usia. Tak ada yang bisa melawan. Celana jeans yang dia pakai tampak pas membalutnya. Juga dengan T-shirt warna abu-abu polos yang melekat di badannya dan dimasukkan ke celana dengan ikat pinggang hitam yang mengikat. Sebuah kacamata minus dipakainya siang itu. Polos adalah warna kesukaan Iwan Fals. Dirinya tidak mau memakai atribut atau logo-logo tertentu yang membuatnya seolah menjadi "milik" atau "wakil" dari produk yang menjadikannya sebagai sebuah simbol produk.
"Iwan bukannya tidak mau. Banyak yang menawarkan produk dan meminta Iwan menjadi bintang iklannya. Tapi dia belum mau. Belum tahu kapan waktu yang tepat. Kami sering diskusi soal ini. Kadang saya yang lupa, dia yang mengingatkan visi dan misi tidak mau terikat dengan produk tertentu. Tapi kadang dia sendiri juga lupa," kata mbak Yos, istri yang menemani hidup Iwan Fals sejak Maret 1981. Mereka kerap saling mengingatkan. Pula saat Iwan terus larut dalam kesedihan sepeninggal almarhum Galang Rambu Anarki pada April 1997 lalu. "Saya bilang pada Iwan, saya juga kehilangan. Kami sama-sama kehilangan. Akhirnya kami bisa bangkit dan merelakan kepergian Galang." Lagu "Hadapi Saja" dari album Suara Hati menjadi penanda "ikrar" mereka berdua untuk merelakan kepergian Galang untuk selamanya.
Hampir 26 tahun Iwan Fals ditemani Rosanna atau akrab dengan panggilan Yos. Sejak tahun 1999 pula secara resmi Yos menjadi manajer Iwan Fals. "Enak, manajernya bisa diajak tidur bareng," celetuk Iwan Fals yang disambut senyum simpul Yos yang sedang asyik mengawasi Rayya Rambu Robbani. Putra bungsu mereka di pendopo tempat berlangsung interview. Annisa Cikal Rambu Basae, kakak dari Rayya saat saya datang katanya sedang kuliah. Kuliah di London School serta mengambil kuliah Tata Boga di sebuah universitas di Jakarta. (Selengkapnya baca Rolling Stone Indonesia Edisi Mei, no. 25/Oleh Adib Hidayat/source: RS Indonesia) ***
Tanah berpijak tempat saya berdiri serasa bergetar. Sesekali tubuh saya terdorong ke samping kanan dan kiri. Bahkan beberapa kali kaki saya terinjak. Belum lagi orang-orang di depan saya yang kerap menutupi pandangan mata saya kearah panggung besar yang berdiri kokoh di depan saya. Tapi saya tidak peduli. Saya sedang mengikuti "dakwah" politik dan musik. Saya sempat mengumpat, pasalnya kaca mata minus 2 yang biasa saya pakai tertinggal di rumah. Membuat pandangan saya kurang jelas melihat sosok Iwan Fals dan yang lain. Kabur. Sialan benar.
Sementara saya sibuk memelototkan mata melihat ke panggung ribuan orang seperti berada dibawah pengaruh hipnotis. Bernyanyi, berteriak, menjerit, dan menangis tanpa peduli dengan sekelilingnya. Semua teriak lantang menyanyi. Semua hapal diluar kepala. Apalagi saat "Bongkar" di nyanyikan oleh Sawung Jabo dan Iwan Fals yang kompak. Mereka berdua bertelanjang dada, "O..o...ya o...ya o ya Bongkar!" kata Iwan dan Jabo yang direspon dengan gempita oleh umat yang datang malam itu. Nuansa kebebasan sungguh terasa. Bebas berteriak dan bernyanyi. Malam itu. Saat itu OI belum ada. Yang lebih terkenal adalah Fals Mania. Saya seorang diri terjepit diantara ribuan Fals Mania malam itu. Iwan Fals bagi saya adalah perwujudan dari sosok idola, dewa, bahkan raja. Dia juga seorang nabi bagi ummatnya. Dan saya menjadi salah satu ummatnya pada malam itu menyaskikan dirinya berkhutbah lewat lagu.
Itu pertama kali saya mengalami interaksi emosional secara langsung dengan Virgiawan Listanto, akrab disapa Tanto di keluarganya. Tapi lebih diakrabi lagi oleh jutaan orang di Indonesia dari ujung Aceh sampai Irian dengan nama Iwan Fals. Dan pada suatu siang di akhir Maret 2007 setelah 17 tahun "pertemuan" itu saya kembali bertatap muka dengan Iwan Fals. Kali ini di padepokan Iwan Fals di Leuwinanggung. Saya sedang tidak hendak menyaksikan Iwan Fals bersenandung. Saya hendak melakukan interview dengannya. Leuwinanggung adalah sebuah komplek seluas 6000 meter lebih yang di dominasi warna abu-abu. Warna kesukaan Iwan Fals mungkin.
Sosok dan kharismanya awalnya membuat saya sungkan padanya. Tapi dewa yang satu ini ternyata sangat ramah. Amat ramah malah. "Sekarang kita makan dulu ya," kata Iwan sambil tanpa sungkan memasukkan sepotong paha ayam dari McDonalds yang dibeli oleh Widi, staff dari Musica Studio's saat saya baru tiba. "Wah kita makan produk Amerika nih," cetusnya sambil terkekeh. Terasa ada sesuatu yang hendak disampikan Iwan Fals dalam misteri tawanya itu. Iwan Fals makan McDonals. Ini menarik.
Iwan Fals tampak sehat. Badannya mulai menggemuk. Rambut mulai memutih. Di bagian depan rambutnya mulai jarang. Efek usia. Tak ada yang bisa melawan. Celana jeans yang dia pakai tampak pas membalutnya. Juga dengan T-shirt warna abu-abu polos yang melekat di badannya dan dimasukkan ke celana dengan ikat pinggang hitam yang mengikat. Sebuah kacamata minus dipakainya siang itu. Polos adalah warna kesukaan Iwan Fals. Dirinya tidak mau memakai atribut atau logo-logo tertentu yang membuatnya seolah menjadi "milik" atau "wakil" dari produk yang menjadikannya sebagai sebuah simbol produk.
"Iwan bukannya tidak mau. Banyak yang menawarkan produk dan meminta Iwan menjadi bintang iklannya. Tapi dia belum mau. Belum tahu kapan waktu yang tepat. Kami sering diskusi soal ini. Kadang saya yang lupa, dia yang mengingatkan visi dan misi tidak mau terikat dengan produk tertentu. Tapi kadang dia sendiri juga lupa," kata mbak Yos, istri yang menemani hidup Iwan Fals sejak Maret 1981. Mereka kerap saling mengingatkan. Pula saat Iwan terus larut dalam kesedihan sepeninggal almarhum Galang Rambu Anarki pada April 1997 lalu. "Saya bilang pada Iwan, saya juga kehilangan. Kami sama-sama kehilangan. Akhirnya kami bisa bangkit dan merelakan kepergian Galang." Lagu "Hadapi Saja" dari album Suara Hati menjadi penanda "ikrar" mereka berdua untuk merelakan kepergian Galang untuk selamanya.
Hampir 26 tahun Iwan Fals ditemani Rosanna atau akrab dengan panggilan Yos. Sejak tahun 1999 pula secara resmi Yos menjadi manajer Iwan Fals. "Enak, manajernya bisa diajak tidur bareng," celetuk Iwan Fals yang disambut senyum simpul Yos yang sedang asyik mengawasi Rayya Rambu Robbani. Putra bungsu mereka di pendopo tempat berlangsung interview. Annisa Cikal Rambu Basae, kakak dari Rayya saat saya datang katanya sedang kuliah. Kuliah di London School serta mengambil kuliah Tata Boga di sebuah universitas di Jakarta. (Selengkapnya baca Rolling Stone Indonesia Edisi Mei, no. 25/Oleh Adib Hidayat/source: RS Indonesia) ***