Inilah Film Kantata Takwa Ketika Iwan Fals Masih Mirip Guevara

Inilah Film Kantata Takwa Ketika Iwan Fals Masih Mirip Guevara. Bukan hanya mirip dalam soal rambut gondrong dan kumis lebat, tapi juga...


Inilah Film Kantata Takwa Ketika Iwan Fals Masih Mirip Guevara

Inilah Film Kantata Takwa Ketika Iwan Fals Masih Mirip Guevara. Bukan hanya mirip dalam soal rambut gondrong dan kumis lebat, tapi juga dalam sikap yang revolusioner. Mereka sama-sama ikonik di zaman dan tempat berbeda. Che sudah lama mati, dan Iwan sudah tak segalak ketika ia berteriak Bongkar! atau Bento. Sekarang Bang Iwan pun sudah tak memelihara kumis dan tak gondrong macam dulu lagi. Masih ada yang sama antara mereka yaitu masa revolusioner Iwan dan Che sudah lewat.

Film Kantata Takwa Iwan Fals

Film Kantata Takwa, Film ini sempat muncul di daftar film penting yang tak selesai, seakan sebuah janji bahwa sebuah gagasan luar biasa dicatat di dalamnya. Nama-nama besar (ketika itu dan mungkin sampai kini) ada di sana. Kredit penyutradaraan jatuh pada dua nama: Eros Djarot yang legendaris dengan Tjoet Njak Dhien dan musik Badai Pasti Berlalu, dan Gotot Prakosa sang pelopor animasi eksperimental negeri ini. Supervisi ada pada Slamet Rahardjo. Pendukungnya juga tak tanggung-tanggung. Cast-nya diisi dengan nama besar seperti Penyair Burung Merak Rendra, Sawung Jabo, pengusaha-cum-musisi Setiawan Djodi; dan tentu Iwan Fals sendiri. Scoring musik dipegang oleh Jockie Suryprayogo dan penata kamera ditangani oleh orang senior dalam film kita, seperti mendiang Soetomo Gandasubrata yang bisa dibilang melahirkan nyaris seluruh juru kamera yang aktif di perfilman Indonesia saat ini.

Koherensi tema
Film yang judulnya diambil dari nama kelompok musik yang terdiri dari Iwan Fals, Sawung Jabo, Donny Fatah, Inisisri, dan Setiawan Djodi serta WS Rendra bisa dianggap sebagai sebuah bentuk dokumenter yang eksperimental. Dasar dokumenter itu adalah konser kelompok musik ini di Stadion Utama Senayan (sebutan Gelora Bung Karno waktu itu) yang direkam dengan 30 kamera film! (Rasanya ini rekor lain lagi buat film Indonesia).

Rekaman konser yang megah itu ditambah dengan dokumentasi seputar konser itu dan berbagai dokumentasi lain. Selain itu, ada juga konstruksi fiktif penuh simbol dan rekaman pembacaan puisi yang didramatisasi. Jadilah ini sebuah campur aduk antara footage dokumenter, adegan-adegan fiksi, dan footage rekaman deklamasi sajak-sajak yang dilakukan di setting yang dirancang khusus.

Bisa dibilang tak ada cerita dalam pengertian yang konvensional dalam film ini. Kekisahan film ini bercampur antara dokumenter dan fiksi, antara rekaman spontan dengan pembacaan puisi di lokasi yang ditata seakan sebuah ruang pengadilan. Beberapa footage dokumenter itu bahkan demikian mentahnya, seperti adegan rekaman workshop kelompok musik Kantata Takwa ketika para anggotanya sedang berdikusi tentang mengapa kelompok ini perlu ada dan apa yang sesungguhnya akan mereka tampilkan; hingga ke dokumentasi percakapan Iwan Fals dengan anak-anak kecil yang tampak dipersiapkan dengan baik (staging).

Kosa gambar itu berjalan sendiri-sendiri bagai tak membentuk pola apapun. Tak terlihat adanya pembabakan dan progresi plot, sekalipun berdasarkan topik ataupun bahkan mood. Bahkan benang merah berupa perempuan berjilbab yang menjadi saksi atas peristiwa-peristiwa fiksi dalam film ini juga tampil tak berpola sekalipun secara konstan menampilkan mood yang tak bergeser kelewat jauh dari cemas-gelisah-kuatir seakan sedang menatap masa depan yang tak pasti.

Sekalipun bentuk film ini demikian inkoheren, tapi karya ini tetap terasa mengejar koherensi dalam tema. Hal itu tampak pada dua hal: sandaran figur-figur dalam film itu dan simbolisme yang mereka gunakan. Manusia-manusia dalam film ini lebih tepat disebut sebagai figur ketimbang karakter. Karakter biasanya berangkat dari keberadaan latar belakang kehidupan dan aspirasi yang kemudian mendorong terciptanya semacam motivasi yang mendorong kisah. Pada Kantata, para tokoh ini tampil sangat figuratif. Karakter mereka memang sengaja dibuat tak bermotivasi. Yang tampil adalah posisi kultural-politis mereka yang menonjol saat itu. Penonton diharapkan kenal dengan mereka lewat berbagai referensi nonsinematis.

Sedangkan simbolisme pada Kantata mengacu pada dekade 1990-an (dan sebelumnya) yang kerap menjadi agenda perlawanan para figur yang ada dalam film itu. Adegan-adegan seperti penembakan di hutan-hutan oleh orang bertopeng, pencabutan gigi oleh tentara, pengadilan oleh hakim berwajah palsu terhadap penulis puisi dan deklamator merupakan agenda kritik terhadap negara dekade 1980-1990-an. Apa yang diungkapkan Kantata adalah semacam pasemon kritik tersebut; yang juga sempat dilakukan oleh penulis cerpen Seno Gumira Ajidarma dalam bentuk yang lebih terus terang.

Ungkapan lewat simbol perempuan berjilbab dalam Kantata juga milik dekade 1990-an. Dalam konteks awal 1990-an, perempuan berjilbab adalah semacam perlawanan yang jelas sekali terhadap otoritas negara. Pengusiran pelajar berjilbab di sekolah-sekolah merupakan persoalan besar hingga akhir dekade 1980-an, sehingga kemudian jilbab menjadi semacam perlawanan terhadap represi negara lewat rangkaian demonstrasi (bersamaan dengan demonstrasi anti-SDSB) dan kegiatan budaya macam pembacaan puisi Lautan Jilbab di beberapa panggung oleh penyair-kolumnis Emha Ainun Najib.

Figur dan ungkapan simbolis yang tampil dalam film ini membentuk sebuah mayapada dengan acuan koheren dan jelas. Film ini bicara nyaring dalam konteks tertentu. Acuan pada konteks dan kelindannya dengan seluruh elemen kekisahan film ini menghasilkan koherensi yang tak terhindarkan pada tema. Maka menonton film ini bagai masuk ke kapsul waktu yang melontarkan saya ke dekade 1990-an.

Masihkah relevan ?

Asumsi yang digunakan sebagai landasan untuk membangun tema Kantata adalah model perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru dekade 1990-an. Pada dekade itu, konsolidasi ideologi Orde Baru sudah rampung dan kekuasaan negara dioperasikan hingga ke mana-mana. Operasi itu berasal dari sumber tunggal yang bernama Soeharto. Orientasi kekuasaan adalah Soeharto, karena sudah tak ada lagi lawan politik yang relatif sejajar dengannya dengan kekalahan penentang-penentang seangkatannya (atau yang sedikit di bawahnya) dan semua yang berhasil mendekati pusat kekuasaan adalah yang paling dekat secara ideologis dengannya. Mesin penggerak birokrasi dan kemasyarakatan juga berpusar pada orientasi serupa, sesudah negara mengalami korporatisasi seperti yang biasa terjadi pada negara-negara fasis. Maka kekuasaan Soeharto menjadi pemegang kekuasaan yang omnipresent karena seluruh operasi kekuasaan berorientasi kepadanya.

Kantata Takwa bicara dengan sebuah asumsi semacam itu. Mesin operasi kekuasaan menjangkau bahkan hingga ke tempat-tempat yang musykil seperti mimpi manusia. Maka mencatat mimpi pun menjadi sangat penting demi melawan kekuasaan yang semengerikan itu (sebelum bermimpi dilarang, ungkapan yang akrab pada dekade itu). Lihat misalnya bayangan manusia bertopeng gas yang menembaki orang di hutan-hutan atau pun ketika ketika Iwan Fals bermimpi giginya dicabuti oleh tentara agar ia tak bisa bernyanyi lagi. Apatah lagi pengadilan politik terhadap estetika seperti yang dialami oleh Si Burung Merak, Rendra. Pengadilan sebagai lembaga yang seharusnya suci dipenuhi oleh kemunafikan. Tampak sekali film ini menunjukkan gesture jijik terhadap lembaga pengadilan.

Tapi masihkah kekuasaan serbamaha yang tunggal macam tuhan itu beroperasi dengan cara seperti yang dialami dan dibaca oleh seniman dekade lalu ini? Inilah pertanyaan yang mengguyahkan gagasan dasar film ini ketika ia lahir sebagai produk tahun 2008. Indonesia pascareformasi justru ditandai dengan fragmentasi luar biasa dalam berbagai usaha meraih dan mempertahankan kekuasaan. Operasinya dalam kehidupan sosial budaya juga demikian beragam dengan agenda yang tak tampak beraturan. Perlawanan ideologi dan politik dalam arena kekuasaan yang pernah menjadi begitu penting, mungkin kini kalah penting dibandingkan dengan perjuangan untuk menampilkan sebuah ideologi pinggiran dalam sebuah film mainstream yang kemudian menghasilkan pembicaraan publik mengenai substansinya.

Agenda politik dalam kesenian mungkin kini lebih cair dan tak semata melawan atau tunduk pada penyelewengan kekuasaan. Perjuangan politik mungkin kini agak tak disadari oleh para seniman sekalipun aneh rasanya, ada seniman yang tak sadar akan implikasi politis karya mereka sendiri. Artikulasi juga sudah berubah seiring agenda untuk mengelak dari jebakan-jebakan pengulangan bentuk. Arena pertarungan juga sudah tak lagi pada tingkat pembentukan wacana dan narasi besar yang akan menghela seluruh gerbong bernama negara bangsa, tetapi menghadirkan cerita-cerita kecil guna melakukan semacam gerilya budaya yang secara tiba-tiba bisa menyeruak dalam pembicaraan publik yang serius, atau malah jadi kebijakan.

Maka ketika Kantata Takwa meletakkan asumsi adanya satu despot yang omnipresent dan beroperasi dari sumber yang tunggal, ia terasa menjadi sebuah artefak sejarah politik. Ia hanya mudah dikenali sebagai sebuah perlawanan terhadap model kekuasaan Soeharto dan sulit diacu pada model persoalan kekuasaan sekarang ini. Soalnya sesederhana bahwa panggung sudah berubah dan pentas yang dimainkan adalah lakon lama.

Demikian pula halnya dengan ungkapan jilbab sebagai bentuk perlawanan. Jilbab saat ini sudah bertransformasi, tak lagi mewakili identitas ketakwaan seperti yang ingin disampaikan oleh film ini. Jilbab, bahkan di beberapa tempat, kini menjadi representasi dari represi ketika sekolah-sekolah mewajibkan para pelajar perempuan berjilbab, bahkan termasuk mereka yang beragama non-Islam. Maka ungkapan-ungkapan perlawanan simbolis yang diajukan oleh Kantata Takwa sesungguhnya memang tertinggal di dekade 1990-an, Indonesia sebelum reformasi.

Ungkapan

Apakah strategi estetika Kantata masih bisa bekerja dalam panggung yang sudah berubah ini? Sebagai sebuah karya eksperimental, Kantata cukup menjanjikan. Seperti dikatakan di atas, film ini justru menghadirkan inkoherensi dalam kosa gambar dan cara ungkap.

Dalam film model ini, sebenarnya penonton diminta untuk membuat rambu-rambu personalnya sendiri. Dengan demikian ia akan bisa mengacu kepada pengalaman-pengalaman subjektif penonton. Maka terciptalah sebuah pemaknaan arbitrer pada karya ini. Dengan model pembacaan subjektif seperti ini, diharapkan penonton memberi makna baru sama sekali yang bahkan berlainan dengan niatan para kreator.

Namun sayangnya Kantata Takwa tidak diniatkan untuk menjadi karya seperti itu (sekalipun mungkin seharusnya dibaca begitu). Seperti sudah dikatakan di atas, tema film ini koheren sekali. Acuan simbol Kantata Takwa kelewat jelas, bahkan vulgar. Film ini menggunakan estetika puisi pamflet Rendra dan teriakan lagu jalanan Iwan Fals yang terasa marah di awal dekade 1990-an, bukan Iwan Fals yang penuh canda seperti di awal masa karirnya. Kemarahan dan munculnya gesture jijik sesekali dalam film ini serasa tak memberi ruang cukup buat penonton.

Namun untunglah sutradara film ini cukup jeli menangkap figur Iwan Fals. Ruang lebih luas diberikan sesekali oleh figur ini. Perhatikan adegan diskusi mengenai rencana pembentukan grup musik Kantata Takwa. Dalam footage diskusi yang singkat itu, Iwan menyatakan keengganannya jika kelompok ini berdakwah dalam pengertian yang sempit. Iwan mungkin marah pada keadaan, tapi ia tak ingin menyatakan bahwa kemarahannya itulah satu-satunya yang sah dengan mendakwahkannya; berbeda sekali dengan sikap Rendra (dan film ini secara keseluruhan) yang bahkan menghakimi balik penghakiman terhadapnya.

Demikian pula percakapan Iwan dengan anak-anak di tepi kali kecil. Iwan memperlihatkan sikap seorang seniman rendah hati yang berposisi sederajat dengan anak-anak yang mandi telanjang di kali itu. Ia bernyanyi bersama dan melawan kesewenang-wenangan (masa itu) dengan riang dan tetap bersuara tegas. Maka transformasi teriakan Bento! dari anak-anak itu menjadi teriakan massa di Stadion Utama Senayan bagaikan melihat transformasi kekecewaan yang tulus para mahasiswa di tahun 1998 yang berubah menjadi kekuatan massa untuk menjatuhkan Soeharto.

Pada titik inilah inkoherensi cara ungkap film ini jadi cukup memberi keragaman dan ruang. Jika tidak, simbolisme yang vulgar, tema yang so last decade dan kemarahan dan gesture kejijikan akan membuat film ini jadi semacam rejim estetika yang memaksa penonton dengan klaim kebenarannya. Padahal secara umum saja, Kantata Takwa dengan segala ketidakakraban kekisahannya sudah melakukan seleksi awal yang ketat terhadap publik.

Klise

Sudah pasti KantataTakwa bukan produk populer. Namun secara sinematis, ia akan memberikan pertanyaan terhadap ungkapan estetika para pembuat film Indonesia masa kini. Kapankah sineas Indonesia bisa mengungkapkan apa saja yang diinginkannya, hingga bahkan nyaris mencapai taraf nonsens (Gotot mengakatan hal ini langsung pada saya: film ini sempat terendam banjir tapi gak papa, jadinya gambarnya malah asyik...) tanpa adanya halangan sama sekali?

Baiklah, di balik film ini ada uang taipan minyak yang nyaris tak terbatas ketika itu (bayangkan: 30 kamera!) tapi bukankah sumber dana untuk karya yang bebas tak pernah dibatas-batasi harus berasal dari kantong sendiri? Yang justru menarik ditanyakan adalah: akan seperti apa jadinya film ini seandainya Setiawan Djody ikut serta dalam penyelesaiannya.

Mungkin film ini tak akan banyak ditonton kecuali di lingkaran festival. Tak sepadan antara investasi yang pernah dibuatnya dengan capaian artistik, apalagi komersialnya; bahkan tak sepadan pula dengan pembicaraan tentangnya yang rasanya sepi-sepi saja. Para wartawan film pun bahkan tak tahu bahwa film ini akhirnya selesai dan ditayangkan perdana di Singapura.

Namun Kantata tetap mengingatkan bahwa seniman seperti Iwan Fals pernah nyaris se-revolusioner Che Guevara. Kepahlawanan mereka sekarang ini mungkin lebih menarik jadi gimmick untuk menjual majalah atau menjadi komoditi sodoran ironi dan lelucon political-incorrect-ness. Kantata kini tetap mengajukan semacam perayaan kecil, bernama kebebasan seniman menyampaikan estetika yang mereka percaya. Klise memang. Tapi ketika para sineas sedang kasip berombongan untuk menjadi konformis dan konformitas sedang dipuja-puji, klise semacam ini, toh, rasanya relevan. Sebuah klise, karena terlalu pahamnya kita akan hal itu, memang kerap kita lupakan.


FULL MOVIE KANTATA TAKWA



Judul Film : Kantata Takwa; 

Sutradara: Eros Djarot dan Gotot Prakosa; 
Supervisi: Slamet Rahardjo Djarot; 
Cast: Iwan Fals, Rendra, Sawung Jabo, Clara Shinta, Setiawan Djody, Jocky Suryoprayogo dan Bengkel Teater Rendra.

Oleh Eric Sasono

Redaktur Rumahfilm.org

Nama

3 bulan 3 Bulan 1980 Aku Berjalan Album Album 1910 Album 1978 / 1988 Album Iwan Fals 2004 - 2014 Album Perjalanan Iwan Fals + Album 3 Bulan 1980 Ambulan Zig-zag Anak Cendana Anissa Iwan Fals (1986) Artikel Berita Berita Iwan Fals Berita Khusus Buku Ini Aku Pinjam Canda Dalam Nada Canda Dalam Nada 1978 Canda Dalam Ronda Canda Dalam Ronda 1979 Chord gitar Chord Gitar Lagu Iwan Fals Chord Guitar Iwan Fals Disco Cangkeling Dongeng Tidur Fakta Unik Iwan Fals Film Kantata Takwa Foto Fals Generasi Frustasi Hasil Polling Imitasi Info Acara Info Konser Ifan Fals Iwan Fals Iwan Fals dan Slank Manggung bersama Iwan Fals Yang Muda Yang Bercanda Jaman Edan joni kesiangan Kabar Oi Kisah Sepeda Motor Ku Kord Gitar Kupas Album Lagu Iwan Fals Lagu Iwan Fals yang tidak beredar Lagu Mars Oi Lagu Pie-Pie Lirik Ekslusif Lirik Keseimbangan Lirik Singel Logo OI Lyric Manusia Setengah Dewa Manusia Setengah Dewa 2014 Matahari Bulan Dan Bintang Music Nada Sambung Oi Jawa Bali Pengamen - Tom Slepe Perjalanan Iwan Fals Profil Biografi Iwan Fals Profil Logo Oi Pusaka Jaya Tom Slepe TVS Video
false
ltr
item
Buku ini Aku pinjam : Inilah Film Kantata Takwa Ketika Iwan Fals Masih Mirip Guevara
Inilah Film Kantata Takwa Ketika Iwan Fals Masih Mirip Guevara
https://1.bp.blogspot.com/-DXyBEpWGM1M/Wo9OyVHFTmI/AAAAAAAAFJY/jNwcTkIOHgUAYit_novTj7RxZjnj-VoxgCLcBGAs/s320/Inilah%2BFilm%2BKantata%2BTakwa%2BKetika%2BIwan%2BFals%2BMasih%2BMirip%2BGuevara.jpg
https://1.bp.blogspot.com/-DXyBEpWGM1M/Wo9OyVHFTmI/AAAAAAAAFJY/jNwcTkIOHgUAYit_novTj7RxZjnj-VoxgCLcBGAs/s72-c/Inilah%2BFilm%2BKantata%2BTakwa%2BKetika%2BIwan%2BFals%2BMasih%2BMirip%2BGuevara.jpg
Buku ini Aku pinjam
https://bukuiniakupinjam.blogspot.com/2008/05/inilah-film-kantata-takwa-ketika-iwan.html
https://bukuiniakupinjam.blogspot.com/
https://bukuiniakupinjam.blogspot.com/
https://bukuiniakupinjam.blogspot.com/2008/05/inilah-film-kantata-takwa-ketika-iwan.html
true
1993094138562422964
UTF-8
Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy